Sabtu, 09 Maret 2013

ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA






A.    PENGERTIAN  ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Acut limphosityc leukemia adalah proliferasi maligna / ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Tucker, 1997; Reeves & Lockart, 2002).

B.     PENYEBAB ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
1.      Faktor eksogen
a.       Sinar x, sinar radioaktif.
b.      Hormon.
c.       Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
2.      Faktor endogen
a.       Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
b.      Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
c.       Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).
(Ngastiyah, 1997)

C.    PATOFISIOLOGI ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).

D.    TANDA DAN GEJALA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:
  1. Pilek tak sembuh-sembuh
  2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
  3. Demam, anoreksia, mual, muntah
  4. Berat badan menurun
  5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
  6. Nyeri tulang dan persendian
  7. Nyeri abdomen
  8. Hepatosplenomegali, limfadenopati
  9. Abnormalitas WBC
  10. Nyeri kepala




E.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:
  1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
a.       Ditemukan sel blast yang berlebihan
b.      Peningkatan protein
  1. Pemeriksaan darah tepi
a.       Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
b.      Peningkatan asam urat serum
c.       Peningkatan tembaga (Cu) serum
d.      Penurunan kadar Zink (Zn)
e.       Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / ยตl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
  1. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut
  2. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
  3. Sitogenik:
50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
a.       Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
b.      Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
c.       Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat  kecil






F.     PENGOBATAN PADA ALL
1.      Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberi­kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda‑tanda DIC dapat dibe­rikan heparin.
2.      Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir­nya dihentikan.
3.      Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6‑merkaptopurin atau 6‑mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L‑asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami­sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama‑sama dengan prednison. Pada pemberian obat‑obatan ini sering terdapat akibat samping beru­pa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti‑hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
4.      Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
5.      Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter­capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 ‑ 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti­kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
6.      Cara pengobatan.
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman­nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:
a.       Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba­gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam­pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b.      Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c.       Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat‑dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
d.      Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3‑6 bulan dengan pemberian obat‑obat seperti pada induksi se­lama 10‑14 hari.
e.       Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400­2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb­ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f.       Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.
(FKUI, 1985)






G.    PATHWAYS

Proliferasi sel kanker
                                                           
Sel kanker bersaing dengan sel normal
Untuk mendapatkan nutrisi

  Infiltrasi


 
   Sel normal digantikan dengan
 Sel kanker

Depresi sumsum                    metabolisme      infiltrasi             infiltrasi
         Tulang                                                             S S P             ekstra medular

























 
                                                   Sel kekurangan   meningitis     pembesaran limpa,
                                                        makanan         leukemia         liver,nodus limfe,                                                                                                            tulang         
Eritrosit leukosit      faktor          tekanan       
                           Pembekuan      jaringan        nyeri tulang                 tulang
                                                                        & persendian               mengecil&
Anemia infeksi     perdarahan                                                             lemah


            Demam    trombositopeni                                                        fraktur
                                                                                                            fisiologis                                                                           












H.    MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Adanya keganasan menimbulkan masalah keperawatan, antara lain:
1.      Intoleransi aktivitas
2.      Resiko tinggi infeksi
3.      Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuahn
4.      Resiko cedera (perdarahan)
5.      Resiko kerusakan integritas kulit
6.      Nyeri
7.      Resiko kekurangan volume cairan
8.      Berduka
9.      Kurang pengetahuan
10.  Perubahan proses keluarga
11.  Gangguan citra diri / gambaran diri

I.       PERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
1.      Mengatasi keletihan / intoleransi aktivitas:
a.       Kaji adanya tanda-tanda anemia: pucat, peka rangsang, cepat lelah, kadar Hb rendah.
b.      Pantau hitung darah lengkap dan hitung jenis
c.       Berikan cukup istirahat dan tidur tanpa gangguan
d.      Minimalkan kegelisahan dan anjurkan bermain yang tenang
e.       Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari
f.       Pantau frekuensi nadi, prnafasan, sebelum dan selama aktivitas
g.      Ketika kondisi membaik, dorong aktivitas sesuai toleransi
h.      Jika diprogramkan, berikan packed RBC
2.      Mencegah terjadinya infeksi
a.       Observasi adanya tanda-tanda infeksi, pantau suhu badan laporkan jika suhu > 38oC yang berlangsung > 24 jam, menggigil dan nadi > 100 x / menit.
b.      Sadari bahwa ketika hitung neutrofil menurun (neutropenia), resiko infeksi meningkat, maka:
1).    Tampatkan pasien dalam ruangan khusus
2).    Sebelum merawat pasien: cuci tangan dan memakai pakaian pelindung, masker dan sarung tangan.
3).    Cegah komtak dengan individu yang terinfeksi
c.       Jaga lingkungan tetap bersih, batasi tindakan invasif
d.      Bantu ambulasi jika mungkin (membalik, batuk, nafas dalam)
e.       Lakukan higiene oral dan perawatan perineal secara sering.
f.       Pantau masukan dan haluaran serta pertahankan hidarasi yang adekuat dengan minum 3 liter / hari
g.      Berika terapi antibiotik dan tranfusi granulosit jika diprogramkan
h.      Yakinkan pemberian makanan yang bergizi.
3.      Mencegah cidera (perdarahan)
a.       Observasi adanya tanda-tanda perdarahan dengan inspeksi kulit, mulut, hidung, urine, feses, muntahan, dan lokasi infus.
b.      Pantau tanda vital dan nilai trombosit
c.       Hindari injesi intravena dan intramuskuler seminimal mungkin  dan tekan 5-10 menit setiap kali menyuntik
d.      Gunakan sikat gigi yang lebut dan lunak
e.       Hindari pengambilan temperatur rektal, pengobatan rekatl dan enema
f.       Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan cidera fisik atau mainan yang dapat melukai kulit.
4.      Memberikan nutrisi yang adekuat
a.       Kaji jumlah makanan dan cairan yang ditoleransi pasien
b.      Berikan kebersihan oral sebelum dan sesudah  makan
c.       Hindari bau, parfum, tindakan yang tidak menyenangkan, gangguan pandangan dan bunyi
d.      Ubah pola makan, berikan makanan ringan dan sering, libatkan pasien dalam memilih makanan yang bergizi tinggi, timbang BB tiap hari
e.       Sajikan makanan dalam suhu dingin / hangat
f.       Pantau masukan makanan, bila jumlah kurang berikan ciran parenteral dan NPT yang diprogramkan.

5.      Mencegah kekurangan cairan
a.       Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
b.      Berikan antiemetik awal sebelum pemberian kemoterapi
c.       Hindari pemberian makanan dan minuman yang baunya merangngsang mual / muntah
d.      Anjurkan minum dalam porsi kecil dan sering
e.       Kolaborasi pemberian cairan parenteral untuk mempertahankan hidrasi sesuai indikasi
6.      Antisipasi berduka
a.       Kaji tahapan berduka oada anak dan keluarga
b.      Berikan dukungan pada respon adaptif dan rubah respon maladaptif
c.       Luangkan waktu bersama anak untuk memberi kesempatan express feeling
d.      Fasilitasi express feeling melalui permainan
7.      Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang:
a.       Proses penyakit leukemia: gejala, pentingnya pengobatan / perawatan.
b.      Komplikasi penyakit leukemia: perdarahan, infeksi dll.
c.       Aktivitas dan latihan sesuai toleransi
d.      Mengatasi kecemasan
e.       Pemberian nutrisi
f.       Pengobatan dan efek samping pengobatan
8.      Meningkatkan peran keluarga
a.       Jelaskan alasan dilakukannya setiap prosedur pengobatan / dianostik
b.      Jadwalkan waktu bagi keluarga bersama anak tanpa diganggu oleh staf SR
c.       Dorong keluarga untuk express feelings
d.      Libatkan keluarga dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan si anak
9.      Mencegah gangguan citra diri / gambaran diri
a.       Dorong pasien untuk express feelings tentang dirinya
b.      Berikan informasi yang mendukung pasien ( misal; rambut akan tumbuh kembali, berat badan akan kembali naik jika terapi selesai dll.)
c.       Dukung interaksi sosial / peer group
d.      Sarankan pemakaian wig, topi / penutup kepala.

























DAFTAR PUSTAKA

1.      Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.
2.      Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.
3.      Reeeves, Lockart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan I. Jakarta, Salemba Raya.
4.      FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.
5.      Sacharin Rosa M. (1993). Prinsip Perawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.
6.      Gale Danielle, Charette Jane. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta : EGC.
7.      Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart .(1995). Patofisiologi. Jakarta : EGC
8.      Sutarni Nani.(2003). Prosedur Dan Cara Pemberian Obat Kemoterapi. Disampaikan Pada Pelatihan Kemoterapi Di RS Kariadi Semarang, Tanggal 13-15 November 2003.



ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN ANAK DENGAN THIPOID




A. PENGERTIAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)

B. PENYEBAB

Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)

C. PATOFISIOLOGIS
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
PATHWAYS

Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik

Kelenjar limfoid          Hati                             Limpa                          Endotoksin
usus halus


 
Tukak                          Hepatomegali              Splenomegali               Demam


 
Pendarahan dan          Nyeri perabaan           
perforasi                                                          Mual/tidak nafsu makan


 
                                                                        Perubahan nutrisi


 
Resiko kurang volume cairan

                                                                                                                                                (Suriadi & Rita Y, 2001)





D. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan dengan  perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
- Nyeri kepala (frontal)                                           100%
- Kurang enak di perut                                           ³50%
- Nyeri tulang, persendian, dan otot                      ³50%
- Berak-berak                                                          £50%
- Muntah                                                                 £50%
Gejala:
- Demam                                                                 100%
- Nyeri tekan perut                                                 75%
- Bronkitis                                                              75%
- Toksik                                                                  >60%
- Letargik                                                                >60%
- Lidah tifus (“kotor”)                                            40%
                                                                                (Sjamsuhidayat,1998)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2.      Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3.      Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
·      Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
·      Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri
·      Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)

F. TERAPI

1.        Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
2.         Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3.        Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
4.        Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
5.        Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari

6.        Golongan Fluorokuinolon
·         Norfloksasin              : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
·         Siprofloksasin            : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
·         Ofloksasin                 : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
·         Pefloksasin                : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
·         Fleroksasin                : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
7.      Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)

G. KOMPLIKASI

Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)



H. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID

A.  PENGKAJIAN
1.      Riwayat keperawatan
2.      Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran

B.  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung
3.      Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh

C.  PERENCANAAN
1.      Mempertahankan suhu dalam batas normal
·       Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia
·       Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan
·       Berri minum yang cukup
·       Berikan kompres air biasa
·       Lakukan tepid sponge (seka)
·       Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat
·       Pemberian obat antipireksia
·       Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat

2.      Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan
·       Menilai status nutrisi anak
·      Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
·      Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
·      Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering
·      Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama
·       Mempertahankan kebersihan mulut anak
·      Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit
·      Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak

3.      Mencegah kurangnya volume cairan
·      Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam
·      Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis,  ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir pecah-pecah
·      Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama
·       Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
·      Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge
·       Memberikan antibiotik sesuai program
(Suriadi & Rita Y, 2001)



I. DISCHARGE PLANNING
1.      Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
2.      Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari  untuk mengelola makanan
3.      Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
4.      Penderita memerlukan istirahat
5.      Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat
(Samsuridjal D dan Heru S, 2003)
6.      Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
7.      Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
8.      Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut
9.      Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.
(Suriadi & Rita Y, 2001)


DAFTAR PUSTAKA

1.               Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.
2.               Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
3.               Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
4.               Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997.
5.               Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.
6.               Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
7.               Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.
8.               Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta. 2002.
9.               Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
10.           Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.

           
Template by : kendhin x-template.blogspot.com